Resep Pindang Lampung, Ikan Kuah Pedas Tanpa Santan.

in , by Rizka Amita Ridwan, Desember 06, 2021

 


Yang namanya pindang, tentu semua orang tahu. Semua bisa dimasak pindang mulai dari telur, ikan, dan daging.

Waktu kami tinggal di Lampung, Alhamdulillah suamiku pernah mengajak kami makan di resto tengah kota. Yang dimakan itu, kepala ikan patin kuah bening pedas, diracik dengan rempah bumbu. Kebayanglah kan enaknya kalau dimakan pas musim hujan.

Nah...sekali makan aku belum suka. Pas kedua kalinya diajak ke tempat yang beda, disitulah aku jatuh cinta sama pindang.

Kenapa cuma makan pindang sampe dibikin tulisan? Ya iyalah, soalnya selama ini aku ga pernah makan ikan patin, lele, dan sejenis ikan berkumis lainnya. Dipikiranku, ikan-ikan berkumis itu ga enak. Eh ternyata pas dimasak pindang oleh orang yang tepat, enak juga.

Pas kali kedua itu aku makan pindang patin, dari penampakannya, ikan itu dimasak dengan bumbu yang digiling kasar, dicampur dengan irisan nenas. Disinilah naluri emak emakku muncul. Bagaimana cara supaya bisa sering makan enak, tanpa harus beli. #kekep dompet.

Mulailah aku hunting resep. Cari di online kok resepnya tidak meyakinkan. Alhamdulillah ada ibu mertua tetangga yang sukacita memberikan resep pas di lidah. Ini dia resepnya

 

Bahan-bahan

  •          Setengah kg ikan. Bersihkan pakai nipis sampai hilang baunya. Boleh ikan         apa aja. Biasanya         yang dipandang itu, ikan patin. Tapi kalau mau ikan         lain juga boleh. Pas di kulkasku ada ikan tongkol abu-abu. Yang enak itu           biasanya ikan berbadan besar. Ikan kue, bandeng, ikan kakap, juga bisa.
  •         Sereh 2 batang
  •          Daun jeruk 6 lembar
  •          Daun salam 3 lembar
  •          Cabe rawit 15 biji, buang pangkalnya. Tidak digiling. Nanti dimasukkan utuh.
  •          Minyak sayur secukupnya untuk menumis.
  •          Air 600 ml
  •          Daun  Kemangi 2 ikat
  •          Nenas yang hampir matang, sudah dikupas, dan buang tulangnya, 100 gram. 
  •      Usahakan nenas yang ada asem asemnya jadi kuah pindangnya segar.
  •          Garam secukupnya
  •          Gula (Aku skip).

Bumbu Halus:

  •           Bawang merah agak besar 5 biji.
  •           Bawang Putih 1
  •           Jahe 1 ruas.
  •           Kunyit 1 ruas
  •           Cabe keriting 7 biji

Cara Buat:

  •         Giling bumbu halus, tumis dengan sedikit minyak. Masak dengan api                 sedang.
  •         Setelah tercium wangi, beri air.
  •         Tunggu lagi sampai air mendidih, baru masukkan ikan.
  •         Perhatikan ketinggian air dengan ikan. Jika ikan belum terendam, maka air         tambah lagi.
  •         Setelah mendidih, masukkan kemangi dan nenas. Masak sebentar saja.             Jangan terlalu layu.
  •         Pindang kuah segar selesai siap dihidangkan.

Ada satu kisah lucu waktu aku perdana masak pindang. Sudah pukul sebelas siang. Kebiasaan suamiku tiap makan siang ya dirumah karena jarak ke kantor dekat.

Bumbu sudah disiapkan semua sudah bersih, eh mati lampu. Kan tidak mungkin ganti menu. Dengan kekuatan ilmu kepepet, aku jadi kuwat giling semua bumbu pakai ulekan. Ngulek 10 menit berasa kardio setengah jam, keringat sebiji jagung meleleh-leleh di dahi plus tangan panas.

Pas suami makan, katanya. “Enak sekali pindang buatanmu, Dek. Kalah yang di resto.”

Seminggu kemudian aku buat pindang lagi. Tapi katanya, “Kok ga seenak yang Minggu lalu, ya?”

Ya kujawablah kan. “Minggu lalu Bang. Kan mati lampu. Jadi bumbu ku ulek. Nah hari ini kan listrik menyala. Jadi bumbunya aku blender.”

“Ooo.” cuma itu jawabannya. Untunglah saat pindang tersaji di Minggu kedua, suamiku makan lahap. Soalnya dia lapar. Kali ini katanya, tetap enak, xixixi.

Di kemudian hari malah si sulung kami juga ikutan suka pindang. Alhamdulillah. Ibu Ibu itu ya, biarpun capek masak tapi sekeluarga makannya lahap, capeknya hilang. Ya kan?

 

 

 

Ketika si Kakak Bertanya Tentang Sifat Tomboi

in , by Rizka Amita Ridwan, November 22, 2021

 


Bismillah.

Hari Minggu kemarin, aku libur masak. Jadi siangnya kami keluar ke  sekitar rumah untuk  makan siang. Ada aku, suamiku, dan anak-anak. Saat mobil kami melaju, si sulung (selanjutnya aku sebut Kakak), mengajukan pertanyaan. Anak kami ada dua. Si Kakak, perempuan umur duabelas tahun. Dan Adeknya laki-laki umur delapan tahun.

“Bunda. Aku ini kan gak seperti Bunda? Aku suka pakai celana panjang, aku suka olahraga taekwando, aku juga suka lari-lari. Aku tomboi kan Bun?” tanya si Kakak yang duduk di sampingku. Di depan, suamiku menyetir mobil. Dan disebelah suamiku, duduk anak kedua kami.

“Enggak.” Jawabku.

“Lho kok Bunda bilang begitu? Lihat aja sekarang. Bunda suka pake rok, sedangkan aku suka pakai celana panjang.” Dia heran dengan jawabanku.

“Suka pakai celana panjang, gakpapa yang penting atasannya selutut. Suka olahraga bela diri, itu bagus. Suka lari-lari juga gakpapa, itu sehat. Kita ini perempuan jadi ya tetap berpakaian dan bertindak sebagai perempuan. Ga perlu jadi tomboi." jawabku. Ya Allah, aku sendiri terkejut dengan jawabanku, kok bisa aku sebijak itu, xixixi. Mestilah ini karena aku libur masak, ahaha!

Pembicaraan yang kemarin itu masih ad di pikiranku. Kenapa? Usia anakku yang ABG ini memang usia mencari jati diri. Usia dimana tampak luar juga menambah percaya diri untuk bergaul. Usia dimana mereka ingin punya ciri khas berbeda dari orang lain. Menjadi tomboi adalah salah satu pilihan. Karena dengan menjadi tomboi, tak perlu berias, tak perlu rapi, seperti anggapan kecantikan umum. Dan yang paling penting, menjadi tomboi itu gak ribet dengan pernak pernik segambreng kaum hawa.

Lalu apa defenisi tomboi? 

Menurut KBBI, tomboi adalah :  Sifat atau tipe aktif, penuh petualangan dan sebagainya anak laki-laki; sifat kelaki-lakian (tentang anak perempuan);

Jadi, ini tentang anak perempuan yang bertingkah seperti laki-laki. Bisa dari cara berpakaian, cara bicara, atau hobi.

Di zaman sekarang, kata tomboi bisa saja berarti luas. Tak cuma perempuan yang bertingkah mirip lelaki, tapi bisa berkembang menjadi, perempuan yang suka perempuan. Naudzubillah. Apalagi ada semacam anggapan bahwa yang cantik itu adalah yang berhias habis-habisan, yang langsing. Membuat remaja yang biasa-biasa saja, memilih jadi tomboi.

In My Humble Opinion, anak perempuan yang bertindak seperti laki laki, entah itu salah satu atau ketiganya dari defenisi KBBI di atas, tidak serta merta membuat dia jadi laki-laki. Kita selaku orangtua sebaiknya mengarahkan anak untuk tetap berlaku sebagai perempuan, walau dia punya hobi misalnya, bela diri, atau panjat gunung. Anak perempuan dengan keberanian lebih, kadang menganggap dirinya tomboi juga.

Mari kita jelaskan ke anak, hobinya, sifatnya itu, juga dipunya Sahabiyah.

Ada Khadijah binti Khuwailid, wanita terkasih Nabi Muhammad SAW yang berprofesi sebagai pedagang. Ada Aisyah binti Abu Bakar. Ada Fatimah sang Putri Nabi SAW. Wanita-wanita yang ada di sekitar Baginda Rasul SAW, adalah wanita pemberani. Berani itu juga sifat wanita, bukan cuma sifat lelaki.

Ada Nusaibah binti Ka’ab, yang melindungi Nabi di perang Uhud. Ada Khaulah binti Azur, muslimah yang sejak kecil gemar bermain tombak dan pedang.

Di Tanah Air, ada nama Laksana Malahayati, panglima perang yang mahir perang dan jago negosiasi. Ada nama Cut Nyak Dien, wanita yang turun langsung dalam perang. Ada juga nama Syekhah Hajjah Rangkayo Rahmah El Yunusiyah, tokoh  pendidikan yang  mempertahankan Sekolah Diniyah Putri di Padang Panjang.

Jadi, ada banyak contoh nyata yang bisa dilihat anak-anak kita, bahwa perempuan dengan sifat berani, logis, punya kemampuan bela diri, lincah kesana kemari, bahkan memimpin pasukan, adalah tetap perempuan, tanpa harus berpikir bahwa dia punya sifat seperti laki laki.

Dia tetap perempuan, tetap bisa berkembang sesuai cita-cita positifnya sambil menjaga diri, tanpa harus jadi laki-laki. Karena menjadi pemberani yang bisa menjaga diri, adalah tabiat wanita yang sudah Allah ciptakan. Berani itu sifat semua orang baik perempuan atau laki-laki. 

Ini opini dari ibu dua anak yang masih perlu banyak belajar. Bagiku, perlu untuk mengenalkan anak perempuan, wanita-wanita solehah yang bisa menjadi acuannya.  Dan itu adalah tokoh nyata, bukan khayalan. Menjadi setuju atau tidak kembali ke pilihan pribadi masing-masing.

 

 

 

 















Hari Minggu kemarin, tanggal 31 Oktober 2021, kami sekeluarga menonton film Nussa di Bioskop XXI dekat rumah. Sebenarnya sudah lama ingin menonton tapi baru sempat sekarang.

Sedikit flashback awal aku tahu Nussa Rara ya, dari anak anak waktu mereka nonton serialnya di TV. Ceritanya bagus, khas anak-anak. Ada Nussa yang serius, juga Rara yang gemesin. The best partnya adalah, film sebagus dan seharu biru ini, buatan Indonesia!  Waktu lihat thrillernya, aku pikir ini biasa saja. Ternyata film ini,  luar biasa! Sekilas, serial Nussa diperuntukkan bagi anak-anak. Tapi Nussa mampu memikat semua umur.

Ada satu moment dimana waktu aku nonton serial Nussa, yang sejak kecil, sudah pakai kaki palsu.

Nussa ingin sekali ikut kursus sepak bola. Berulangkali Nussa minta izin ke bundanya yang dia panggil Umma, tetap tidak bisa. Sampai akhirnya izin itu turun, dilatarbelakangi satu kejadian. Umma jatuh di kamar, dan Nussa  berusaha menopang tubuh Umma, dengan kakinya. Masyaa Allah, Nussa bisa!

Sebagai sesama Ibu, kupikir wajar jika  Umma resah. Apa bisa Nussa dengan kaki palsunya itu,  mengikuti aktivitas yang justru mengandalkan kekuatan kaki?Tapi Umma  menepis keraguannya, dengan berkata satu kalimat mengharukan pada Nussa. “Umma selalu percaya kalau Nussa bisa,” kata Umma sambil menyentuh bahu Nussa.

Huwaa! Refleks dong aku berkaca-kaca. Ke anak sendiri, jarang sekali aku bilang,. “Bunda percaya Kamu bisa.” Eh ini, ada Ummanya Nussa, bilang bisa. Padahal Nussa kakinya tak sempurna.

Jujur ya, kita tahu, apa yang akan dilaluinya jika kita bilang, “Anakku, kamu bisa.” Tapi kita gak kuat melihat dia berusaha mencapai impiannya, entah itu dengan merangkak atau berlari. Padahal kita  sendiri pernah mencita-citakan sesuatu dan berjuang melewatinya.  Muncul konsekuensi tindakan yang harus dilakukan jika kita berkata pada anak, “Ayah Bunda percaya Kamu selalu bisa.”

Akan ada masa sulit setelah itu. Akan ada kecewa dan air mata, persis ketika Nussa kalah melawan Joni untuk Science Fair tingkat sekolah. Di saat bersamaan Nussa juga kecewa karena Abbanya tertunda pulang.

Nah, di film juga ada moment dimana Nussa sedang berusaha naik tangga, dengan baut kaki palsunya yang tak lagi utuh. Lepasnya baut kaki palsu itu tak biasa. Karena baut itu, diberikan Nussa, untuk Joni. Bahkan dinamo yang dibawa Abba dari luar negeri, juga diberikan ke Joni.

Seharusnya Nussa dan Joni bersaing dalam Science Fair. Tapi tindakan Nussa ini malah membuat Nussa tidak bisa ikut lomba.

Bisa ditebak kalau Jonilah juaranya. Saat penyerahan hadiah, Joni yang kini rendah hati, memanggil Nussa, untuk bersama memegang piala.  Terseok-seok Nussa menaiki tangga sampai Abba, menawarkan bantuan untuk memegang Nussa berjalan. Disinilah moment haru itu terjadi. Nussa menolak bantuan ayahnya. Dan Nussa dengan PD berkata, “Jangan Abba. Nussa bisa.”

Masyaa Allah. Adegan ini sukses membuatku terharu. Karena ingat anak sendiri. Kadang aku tanya ke anak, “Kamu bisa?” Padahal ya, lebih baik jika berkata, “Bunda percaya kamu selalu bisa.” Alih alih bertanya tapi ragu.

Dua kalimat yang beda, hasilnya bisa beda. Ketika orangtua percaya pada anak, maka kepercayaan ini akan membuat anak jadi bisa, sanggup berusaha dan berpeluh demi cita-cita positifnya. 

Ada satu lagi yang menjadi ibroh di film ini, perihal kedekatan orangtua ke anak. Ada sosok Joni, si anak pintar yang sepanjang hari diasuh pembantu. Ayah Ibunya di dekat dia. Tapi Orangtuanya selalu sibuk. Berdekatan saja masih sibuk menelpon, pegang HP terus. 

Sementara ayah Nussa yang kerja di luar negeri, sering video call dan memberi semangat pada Nussa. Walau tak selalu mulus, LDR nya ayah Nussa, tak mengurangi perannya sebagai ayah. Abba hadir di saat Nussa butuh sosok Ayah.

Fenomena  seperti keluarga Joni, atau keluarga Nussa, ada di sekitar kita. Film ini mengingatkanku bahwa anak anak, selain butuh kehadiran orangtua, mereka juga butuh penyemangat, perhatian, dan sentuhan. Senang rasanya waktu Rara ke dapur dan surprised dengan kehadiran ayahnya. Alhamdulillah akhirnya, orangtua Joni lebih perhatian ke anak, dan Ayah Nussa pulang ke Indonesia.

Siapa lagi yang paling anak-anak butuhkan sebagai penyemangat hidupnya, pemberi perhatian dan sentuhan tulus, kalau bukan dari kita, ayah bunda mereka? Jangan sampai anak anak mencari perhatian ke orang lain, yang bisa saja salah. Ya kan? 

Kami memang bukan orangtua sempurna, tapi kehadiran film Nussa telah mengingatkan kami untuk berusaha jadi sempurna, setidaknya di mata anak-anak kami. 

Terimakasih untuk semua pihak yang telah menghadirkan film Nussa Rara ke layar bioskop. Terimakasih untuk menyadarkan kami akan pentingnya waktu bersama keluarga.  Semoga Nussa tetap ada menemani hari-hari kita semua. Semoga selalu menginspirasi.

Bekasi,. 5 November 2021

Rizka Amita Ridwan

Ibu dua anak.

 

 

 

Kucing Tetangga

in , by Rizka Amita Ridwan, November 02, 2021


Sejak kecil, aku bukan pecinta kucing. Pun sampai menikah dan punya anak, aku masih jaga jarak dengan kucing. Bukan apa-apa, aku sadar diri tidak telaten. Sampai kemudian, si sulung kami meminta kepada ayahnya, untuk diberikan anabul. Itupun dengan catatan, dia yang urus semuanya. Emak lepas tangan.

Anabul kami sepasang, jantan dan betina. Si Sulung begitu sayang dengannya. Apalagi memang itu kucing, lagi lucu-lucunya.

Lalu kuteringat, bahwa pernah lima bulan lalu, ada kucing ras dewasa yang suka mampir ke rumah kami. Kucingnya bersih, lucu. Dia pernah masuk rumah kami dan tak mau keluar.

Satu yang kuingat adalah, kucing ini sering tidur di teras rumahku. Dan menyebabkan helm yang kutaruh di teras, dan kursiku, bau pesing kucing. Apa yang kulakukan kemudian? Aku tanya di grup ibu ibu, siapa yang punya kucing itu. Alhamdulillah besoknya kucing itu tidak berkeliaran lagi. Kemungkinan sudah diamankan pemiliknya.

Dengan keterbatasan pengalamanku di dunia anabul, ingin kusampaikan. Jika ada kucing tetangga yang mungkin mengganggu kenyamanan kita, ada baiknya memberitahu si pemilik kucing atau anjing (atau hewan peliharaan lain), perihal ini.

Misal, itu kucing/anjing, kencing sembarangan di teras kita, ya kasitahu ke pemiliknya. Tapi jangan membuang kucing itu jauh-jauh, atau malah membunuh kucing itu.  

Namanya hewan, ya kurang akalnya. Jangan kita ambil tindakan sesuka hati kita. Membuang kucing jauh, membunuh hewan peliharaan orang, bukan hal bijak. Kita tak tahu, bisa jadi hewan peliharaan itu, sangat dekat dengan pemiliknya. Teman tidur, teman main, penghibur hati anak pemiliknya, kita tak tahu.

Cukup sampaikan ke pemiliknya, bahwa hewan peliharaan mereka, mengganggu kita. Kalau pemiliknya tak terima dan sudah sangat mengganggu, bisa lapor ke RT setempat. Tapi jangan membuang kucing/anjing itu jauh, membunuhnya, atau malah meracuni. 

Yang sama ngenesnya adalah, jika kita menemukan anak kucing umur seminggu, di jalanan. Kan aneh anak kucing sendirian di jalan. Induknya mana? Kalau memang kerepotan, dan berencana membuang, setidaknya bersama induknya. Jangan induknya tetap dirumah karena mau dipakai usir tikus. Tapi anak-anaknya dibuang. Kita bisa pindahkan mereka ke tempat yang aman. 

Bisa tanya tetangga jika ada yang mau merawat.  Tempat penampungan terdekat, bisa juga jadi solusi. Bayangkan jika kita ada di posisi anak kucing. Kecil, sendiri, tak berdaya, tanpa induknya.

Tapi semua sudah dicoba dan tetap mau buang? Makanya dari awal jangan punya anabul kalau tak sanggup. Giliran dia punya anak,  malah dibuang! Oh ya, masih ada opsi steril juga.

Tulisan ini bukan bermaksud ‘mengajak’ membuang kucing. Tidaaaak! Cuma mau mengingatkan, ada lho, cara yang lebih manusiawi jika kita tak suka kucing/hewan lainnya.

Jangan tidak suka kucing, keberadaannya mengganggu kita, malah membawa mereka ke tengah jalan. Kenapa sampai anak kucing ditaruh ke tengah jalan? Supaya kelindas gitu?

Pernah malah, orang memijak leher kucing sampai mati, karena mengganggu di gedung miliknya. Dan dia merasa....biasa aja! Aku yang nonton cuma bisa istighfar. Kok segitunya? Kan kucing itu bisa diusir?

Bagaimanapun, mereka mahluk Tuhan juga. Jika hewan-hewan itu menderita akibat ulah kita, maka kita berdosa. Ah dosa kan urusan nanti? 

Teman, jika memang tak mau berubah karena tak percaya dosa, tak percaya surga neraka, itu urusanmu. Tapi setidaknya, mari empati. Jangan berbuat sesuka hati.

Ingin Jadi Blogger

in , by Rizka Amita Ridwan, Oktober 20, 2021

 


Dua bulan terakhir, aku dilanda galau. Ingin mencoba bisnis baru yaitu jadi bakulan makanan. Sebelumnya aku sempat mencoba beberapa bidang, tapi tidak fokus. Mulai dari jualan skin care, reseller baju, sampai MLM. Karena memang tidak fokus, hasilnya ya, begitulah.

Ada orang dengan tipe jualan palugada, sukses di semua bidang. Sementara aku, mencoba palugada, tapi gagal. Arti gagal disini tidak selalu berakhir dengan kerugian. Menjalani usaha dengan setengah hati, juga membuatku merasa gagal. 

Lho, kok bisa menjalani usaha setengah hati? Iya. Karena passionku bukan di situ. Passion adalah sesuatu yang kita merasa senang melakukannya, baik senang maupun susah. Segera kuingat, ada satu hal yang rutin kulakukan dari dulu sampai sekarang. Menjadi semacam kebutuhan. Yaitu menulis. 

Minimal dua hari sekali aku menulis, entah di Facebook, atau di HP. Kadang ikut grup penulis cerita anak, walau masih amatiran. Aku suka artikel non fiksi. Berharap sambil menulis juga bisa memberi sedikit manfaat untuk pembacanya.

Oh ya, aku sudah menulis buku Solo yang berjudul ‘Yes, You Can. Diary ASI Ibu Baru dan Perjuangan Menghadapi Babyblues.”

Buku ini berisi, kisahku waktu berusaha memberikan ASIX untuk anak sulung kami. Ternyata menyusui tak segampang buka kancing baju. Ada hal yang lebih kompleks. Di saat yang sama kami juga diuji dengan masalah ekonomi. Alhamdulillah semua sudah lewat. Banyak orang bilang aku tidak bisa menyusui, Alhamdulillah akhirnya bisa.

Kembali ke tema awal ya. Nah, sebelumnya kan aku sudah katakan aku ingin jadi bakul makanan karena di masa pandemi begini, produk makanan laris. Tapi aku tak diizinkan.

Kata suamiku, aku ini tipe mood swing kalau masak. Kadang enak banget. Kadang biasa saja. Kadang tidak enak. Sementara kalau jualan kan harus enak terus. Standarnya ada. Apalagi kami punya dua anak usia SD yang sedang butuh perhatian emaknya. Pada akhirnya aku harus memilih. Berharap akan ada masanya aku jual makanan buatan sendiri. Dan itu bukan sekarang.

Ditengah kebingungan, Masyaa Allah, lewat sebuah artikel saat aku sedang scroll FB. Ada beberapa profesi yang bisa dilakukan ibu Rumah Tangga. Salah satunya adalah, menjadi penulis di blog.

Aku terkejut. Ternyata inilah yang seharusnya kulakukan. Kenapa aku tidak mencoba jadi blogger? Selain menyebarkan ide, blog bisa juga jadi tempat jualan. Aku jadi semangat.

Langsung ku japri seorang teman, lalu bertanya. Lebih tepatnya curhat. Dan saran dari dia adalah, iya Mi, jadi blogger aja!

“Tapi aku ragu, bisa apa enggak. Sepertinya jadi blogger itu sulit.” jawabku.

“Sudah coba aja. Kamu bisa ikut komunitas untuk jadi blogger. Yang penting rajin nanya, rajin nulis, Insya Allah Kamu bisa!”

Maka aku mulai nge blog lagi, Ditambah dukungan suami. Yang penting harus serius dan bermanfaat, katanya.

Setelah bicara dengan seorang teman lagi,  kuberanikan beli domain sendiri. Walau di awal rada gaptek. Alhamdulillah juga di grup WA kami, blogger yang senior mau memberi saran kepada newbie.

Pas sekali waktu ada promo buku ‘Ngeblog dari 0 nya IIDN,” Aku langsung ikut PO. Aku ingin segera membacanya.

Kedepan, semoga dengan mengikuti kelas ‘Ngeblog dari 0 IIDN, bisa melatih konsitensiku menulis. Berada di antara sesama blogger pemula membuatku berani, karena kami sama-sama belajar. Terimakasih IIDN.


Rizka Amita
Penulis Buku, "Yes, You Can! Diary ASI Ibu Baru dan Perjuangan Menghadapi Babyblues."
Bekasi, 20 Oktober 2021

 

 

 

Resep Bolu Marmer Lezat Tanpa Pengembang Tanpa Pelembut

in , by Rizka Amita Ridwan, Oktober 08, 2021



Alhamdulillah, sejak pandemi melanda, ada satu hobi baru yang aku tekuni, yaitu baking tingkat amatir. Untuk orang lain mungkin sudah biasa. Tapi untukku, ini luar biasa. 
Hobi ini kian kuat karena toko kue jauh,  xixixi. 

Nah kebetulan kemarin aku buat cake marmer. Dari beberapa resep yang pernah kucoba, ini yang paling moist atau lembut. Sensasi rasanya beda karena tanpa pengembang, tanpa pelembut. Pernah nyoba resep lain, suamiku nanya, kok ga seenak biasanya? Akhirnya balik lagi ke selera asal.

Dulu waktu kecil, Mamaku juga sering beli kue dari tetangga yang jualan bolu. Nah rasa bolunya itulah yang terekam di lidahku. Mirip rasa cake marmer yang ini. Kita langsung saja ya.

Resep: Law Thomas
Recook : Rizka Amita


Bahan A:
330gr margarin/butter
200gr gula halus

Bahan B:
8 butir kuning telur

Bahan C:
200gr tepung protein rendah
25gr susu bubuk
1/2sdt vanilla bubuk

Bahan D:
20gr coklat bubuk
1/2sdt pasta bubuk

Bahan E:
7 butir putih telur
25gr gula pasir

Cara buat:

1.  Mixer bahan A sampai bercampur rata
2. Masukkan bahan B hingga mengembang.
3. Masukkan bahan C mixer sebentar saja dengan kecepatan rendah. Pakai spatula       saja juga bisa.
4. Di wadah terpisah, mixer bahan E sampai kental berjejak.
5. Campur adonan putih telur ke dalam adonan kuning telur, aduk dgn spatula.
6. Ambil 1/3 adonan, lalu beri bahan D
7. Tuang adonan kuning dan coklat secara bergantian ke dalam loyang yg sudah di       oles margarine dan di tabur tepung tipis.
8. Bentuk motif marmer dipermukaan adonan dgn memakai sumpit/lidi
9. Olesi loyang dengan olesan Carlo (1 SDM minyak makan+1 SDM mentega+1 SDM        tepung).
10.Masukkan adonan ke loyang.
11. Masukkan loyang ke oven yang sudah dipanaskan.
12. Oven sekitar 30-40 menit sesuai oven masing-masing.
13. Sajikan setelah matang. Dimakan hangat lebih nikmat.


Awal Kenal Kajian Sunnah Part 2

in , by Rizka Amita Ridwan, September 20, 2021

 












Melanjutkan tulisan sebelumnya, tentang awal kami kenal kajian Sunnah. Jadi tak lama setelah aku mengaji di Lampung, suamiku dimutasi ke Makassar. Aku yang sempat galau, akankah pengajian ini berlanjut, akhirnya berdoa. Ya Allah, aku ridho dengan kepindahan ini. Tapi kumohon berikan kami lingkungan yang baik. Anak anakku semoga dapat sekolah yang baik. Menaiki pesawat Subuh hari meninggalkan kota Lampung terasa berat. Kutahan rasa di dada. 

Baca juga : Awal Kenal Kajian Sunnah Part 1

Hari itu, kembali baju dan  rok jeans A line  yang kupakai. Rok satu satunya. Sebenarnya bajuku banyak, tapi kebanyakan celana. Saat ini aku berusaha lebih sering pakai rok. Mau beli baju baru terasa tanggung. Nanti setelah urusan pindah selesai, akan kubeli rok dua atau tiga lagi. 

Bersama suami, aku membawa dua balita dan barang yang banyak (saat itu belum berlaku bayar bagasi jadi kami dapat duapuluh lima kg bagasi per orang. Total empat orang, dapat bagasi seratus kg). Barang yang kubawa lumayan banyak. Betul betul mirip pindahan. Biasanya orang pindahan pakai pick up, kali ini kami naik pesawat. Barang barang yang kubawa antara lain, dua kasur single bed, sudah di-wrapping untuk masuk bagasi. Ada rice cooker, baju dua koper besar, dan alat masak  sekardus. Sampai sampai petugas bandara tahu, "Ini mau pindah ya, Pak?" 
"Iya," jawab suamiku.

Dua kali transit capek juga. Dari Lampung ke Jakarta, lalu Jakarta ke Makassar. Di Makassar kami tinggal di dua hari di hotel, sebulan di kos an, sampai akhirnya sewa rumah. Kata suamiku rumah yang kami sewa, bakal dekat ke sekolah anak. Aku bingung. Kok bisa suamiku langsung daftar sekolah anak, tanpa kasitahu istrinya. Kesal mode, ON.

Walau awalnya curiga,  aku justru jatuh cinta di pandangan pertama, saat mendatangi sekolah anakku. Alhamdulillah dapat sekolah Sunnah. Gurunya bercadar semua. Kelas perempuan dan laki-laki dipisah bahkan sejak kelas satu. Masyaa Allah Tabarakallah, kebimbanganku dijawab tuntas oleh Allah disini. Allah dengar doaku, Alhamdulillah. 

Di sekolah ini, orangtua murid dikoordinir supaya ikut kajian bulanan. Di kajian bulanan itu, kami diarahkan lagi, mengikuti liqo yang anggotanya lebih sedikit, sekitar delapan orang. 

Jangan dipikir orang yang ikut pengajian itu, sudah alim semua. Kalau perempuan kan paling mudah dilihat dari pakaian ya. Nah, temanku ada yang harinya sudah gamisan kemana mana. Ada juga yang kalau ke sekolah anak, jilbab lebar, kalau kerja jilbab lilit. Yang hobi selfie juga ada. Ya begitulah. Apapun keadaan kami, kami datang kajian. Jangankan orangtua murid, bahkan OB sekolah dan Ibu Ibu sekitar yang bekerja sebagai ART  di komplek dekat sekolah, ikut kajian. 

Alhamdulillah rumah kami agak besar.  Ada halaman depan yang bisa ditaruh jemuran dan pot bunga. Rumah itu dekat kantor. Semua bagus. Satu satunya masalah adalah, rumah itu bocor parah bila hujan.

Bukan hujan biasa.  Musim hujan deras bisa mulai pagi selesai siang, atau siang selesai sore. Rumah itu setahun tak dihuni dan saluran air di atap tertutup daun daun. Jika hujan deras, ada satu asbes dapur bocor dan mengucurkan air dalam setengah jam, bisa sampai satu ember besar. Hujan satu jam saja, sudah dua ember. Apalagi kalau hujan dari pagi ke siang. 

Seminggu pertama, ini adalah cobaan bagi wanita tidak setrong sepertiku. Kalau hujannya malam, ada suami yang membuang air itu. Kalau hujannya siang, aku sendiri dirumah dengan anak usia sekolah dua orang. Tiap hari sepulang antar anak dua orang, jam delapan pagi, hujan deras. Bajuku basah semua. Itu masih tunik panjang dan celana. 

Hujan tetap melanda. Dan air bocoran masih rajin masuk kerumah kami. Jujur aku takut kalau sampai banjir serumah. Daerah belakang rumah kami malah, kalau banjir sampai sepinggang. Yang kuingat saat itu,  saking derasnya hujan,  air naik dan deras sekali di bawah Jembatan Kembar, kota Makassar. Menjadi semakin sedih karena ada juga warga hanyut terbawa air. Bahkan rumah ikut dibawa air.
 
Jadi selain urus rumah, kerjaku juga membuangi air. Siaga jika air meluap. Kami sempat hubungi pemilik rumah tapi tukang baru ada minggu depan. Anehnya, ditengah adaptasi kami baru pindah, hujan deras, urusan rumah,  dan resiko air bocor berember-ember tadi, tak tahu kenapa, timbul keinginanku untuk pakai hijab syari. Padahal  situasi sedang sulit, kok mau pakai baju yang repot? Begitu kata hatiku yang lain. Pakai yang ringkas saja kenapa?
 
Ini seperti pertentangan batin. Kutahu, sekali aku pakai hijab syar'i,  maka seterusnya harus kupakai. Sementara hari hariku antar jemput dua anak kadang bawa anak ke klinik yang lumayan jauh dari rumah, naik motor. Yang kubayangkan betapa repotnya kemana mana pakai jilbab besar.

Tapi sudahlah. Dipikir pikir malah ujungnya menunda. Kucari baju gamis yang kloknya tak lebar.  Jilbab yang tak terlalu besar. Dan kaus kaki. Ritmenya begini. Pagi antar anak pakai gamis. Pulang dari antar anak biasanya hujan deras, baju basah sampai kedalam. Aku langsung ganti baju. Jam sebelas antar makan siang sekaligus jemput anak kedua. Pulangnya...bajuku  basah. Ganti lagi. Rumahku dekat sekolah jadi aku lebih baik bolak balik toh dirumah banyak kerjaan. Jam satunya, berangkat lagi jemput si Kakak. Pulang jemput si Kakak ada hujan lagi. Bajuku basah lagi. Saat itu kami belum punya jas hujan. Mau kubeli tapi nanggung karena barang barangku termasuk jas hujan, sedang otw Makassar naik kargo. Jas hujan lama punyaku, masih bagus. Pikirku daripada beli baru tapi tak bagus lebih baik kutunggu yang bagus. Anehnya lagi...jas hujan sendiri tak kubawa ke Makassar. Tapi jas hujan anakku, kubawa. Ibu Ibu mah gitu. Barang anak dia ingat. Barang sendiri malah lupa. Ada yang sama?

Jadi dalam sehari, aku bisa tiga kali ganti gamis. Ingin jadi baik disituasi ini, membuatku terharu. Banjir dimana mana dan banyak korban,  menimbulkan rasa betapa kecilnya aku.  Betapa lemahnya aku. Jadi sambil ambil gamis, ambil kaus kaki, itu aku menangis lagi. Ya Allah kalau memang aku harus jadi baik sekarang, merangkak jadi baik di situasi begini, aku ridho. Memakai kaus kaki sementara kita tahu akan basah kuyup itu rasanya sesuatu. 

Semua mengalir begitu saja.  Mendung sepanjang hari dari pagi ke pagi, datangnya hujan tak bisa diduga. Hari ketiga aku mulai berdoa. Ya Allah aku tidak kuat. Kutahu hujan-Mu rezeki. Tapi...kumohon kalau sudah dekat jam jemput anakku, tolong hentikan hujan ini sebentar saja. Setidaknya sempat kujemput anakku.

Apa yang terjadi setelahnya sodara sodara? Masyaa Allah, hujan yang tadinya lebat, berangsur berhenti. Setelah pakai gamis, jilbab dan kaus kaki, aku  bergegas. Di motor sepanjang jalan lagi lagi aku makin terharu. Ya Allah, banyak sekali kau kabulkan doaku. Aku jadi malu. Semakin terasa kalau diri ini hamba yang lemah. Dulu kuheran melihat teman yang suka nangis kalau ingat dosa. Lihatlah, sekarang aku yang mudah menangis. 

Ada satu momen dimana aku usai jemur pakaian di teras tanpa kanopi, langsung pergi jemput anak, pas pulang malah hujan deras. Tapi kuheran , kenapa jemuranku sudah diangkat? Ternyata tetanggaku WA. Katanya Nenek di seberang rumahku yang angkatkan. Masyaa Allah. Padahal aku belum kenal Nenek itu. Tapi dengan baiknya dia angkatkan jemuranku keteras dalam. Siapa lagi yang menggerakkan Nenek itu untuk angkat jemuranku, kalau bukan Allah? Esok paginya kudatangi Nenek itu dan mengucapkan terimakasih. 

Usai di WA tetanggaku, buru buru kuganti gamis yang basah semua, kembali aku terharu. Terlalu banyak isyarat yang Allah kirim padaku sejak aku meminta hidayah, sejak aku meminta sekolah yang bisa membantu kami mendidik anak anak kami. Bahkan di komplek tempat tinggalku ada mesjid besarnya yang aktif adakan kajian. Allah jawab semua doaku, tuntas. 

Terus terang aku masih bingung, kenapa dengan diriku? Ingat dosa, nangis. Ingat anak, nangis, ingat suami, nangis. Merasa kurang tapi tak tahu apa yang kurang.  Alhamdulillah kehidupan kami baik. 

Selain ikut kajian, kusempatkan juga mendengar radio dakwah, disambi masak dan beberes. Sampai akhirnya kudengar dari seorang Ustad. Perasaan mudah terharu itu, karena Allah sedang perhatikan kita. Allah ingin kita lebih dekat kepada-Nya. Siapapun yang mendapati perasaan seperti ini, seharusnya bersyukur. Disebut juga hidayah. Hidayah yang datang karena diminta. Bukan hidayah yang datang tiba tiba.

Lalu apa yang ingin kusampaikan? Ini dia. Tentang hidayah. Pasti ada, momen dimana kita merasa lemah, mudah menangis mengingat dosa. Tapi perlu diingat, mudah menangis saat melihat isi dompet, itu bukan hidayah ya, hihihi.

Nah...momen saat mudah menangis itu, jangan dilewatkan. Hidayah itu barang yang muaahal. Tapi hidayah juga datang bukan jatuh dari langit. Dia datang karena diminta. Kita sholat minimal lima kali dalam sehari. Membaca Al Fatihah minimal tujuhbelas kali sehari. Maka minimal tujuhbelas kali juga kita meminta hidayah. Buktinya tiap sholat kita ucapkan surat Al Fatihah ayat enam, meminta ditunjukkan jalan yang lurus.

Mungkin ada di antara kita, mau berjilbab syari terasa sulit, mau sholat lima waktu, tak bisa bisa. Mungkin hari ini kita berada di posisi terbawah hidup kita. Miskin, diputusin pacar, dipecat kerja, batal nikah, malas sholat, usaha bangkrut,  banyak hutang, tak bisa lepas dari film bokep,  rumah tangga hancur, galau, ingin bunuh diri  Tak ada tempat meminta tolong karena semua teman menjauh. Mungkin ada saat ini, walau kita sering buat dosa, makan harta haram, bahkan sampai berzina, masih ada hati kecil yang bilang itu salah dan kita menangis karena mengingatnya.

Bisa jadi itu tanda Allah sedang perhatikan kita. Dibuat-Nya kita menangis karena mengingat dosa. Dibuat-Nya kita menangis karena kita merasa lemah. Nah, momen seperti ini jangan diabaikan. Tapi diterima.

Ah, cuma begitu doang  ditulis? Ya kali mati masih lama. Kalau ada yang bilang begitu, cuekin saja. Seperti apapun kita hari ini, ketika menangis mengingat dosa kita, ingatlah ada Zat Maha Pengasih yang akan selalu menerima kita. Jangan merasa kotor untuk menerima hidayah. Jangan pernah merasa malu untuk meminta hidayah, untuk mencari ilmu, mendatangi kajian. Ayo kita cari. Jangan pasrah.

Tapi kok sulit? Yang penting kita berdoa. Nanti ada jalannya. Doanya yang rajin, jangan bolong bolong. Ingat kan? Kisah wanita yang berzina, sampai hamil, lalu mendatangi Nabi Muhammad SAW untuk minta dilaksanakan hukum had kepadanya? Itu bukti bahwa siapapun punya hak menjadi baik.

Tak ada yang melarang preman ikut kajian. Tak ada yang boleh menolak, PSK datang kajian.  Tinggal bajunya saja pakai yang sopan. Tak ada yang berhak mengusir, pelaku riba datang kajian. Kecuali kita bicara kita siapa, maka orang tahu. Kalau kita tak bicara, orang tak akan dan tak perlu tahu.

Siapapun berhak mendapat hidayah. Langkah awalnya apa? Memperhatikan isyarat halus tadi yang Allah kirim ke kita. Bentuk awal hidayah macam macam sesuai keadaan tiap orang yang berbeda. Kalau kami yang IRT ini, maka awal tanda hidayah tadipun, tak jauh jauh dari aktivitas rumah tangga. 

Mau kan meminta hidayah? Selagi nyawa masih dibadan, masih ada kesempatan. Lebih baik jadi penjahat yang berakhir jadi orang sholeh daripada orang sholeh yang akhir hidupnya jadi penghuni neraka. Hijrah itu mudah dan gratis. Ampunan Allah Maha Luas. Godaan yang mengatakan bahwa kita terlalu banyak dosa jadi sia sia bertobat, itu godaan setan. Godaan yang bilang 'urus urusanmu sendiri' dan tak mau diingatkan, itu bukan sikap kita. Ditegur manusia didunia walau sakit, masih lebih ringan daripada ditegur malaikat di alam kubur. Mau berubah jadi baik? Pasti mau ya.


Bekasi, 10 September 2020
Rizka Amita, Ibu dua anak yang banyak kurangnya.
Penulis buku 'Yes, You Can. Diary ASI Ibu  Baru dan Perjuangan Menghadapi Babyblues.' Bitread 2017.

Tips Menjauhkan Diri dari Insecure

in , by Rizka Amita Ridwan, September 10, 2021

Pernah Gak kamu merasa insecure dengan orang sekitarmu? Kalau pernah, tandanya kita sama. Aku bukan pernah, tapi sering. 

Insecure itu apa? Sejenis rendah diri. Mereka saudara kembar. Mirip jelangkung. Datang tak diundang. Pulang gak tahu kapan.

Seperti hari ini, aku insecure dengan postingan seseteman yang pagi-pagi sudah masak, punya anak kecil, rumah udah rapi, masaknya pakai bumbu asli lagi. Itu semua dilakukan mandiri tanpa ART.

Kalau aku, bisa sih pagi masak. Tapi mesti ada bantuan. Yang bantu, Mbak yang kerja, datang jam tujuh, pulang jam sepuluh. Tapi tak selalu ada. 

Jangan dibilang orang yang punya ART itu dominan orang punya. Tidak juga. Zaman punya bayi, babyblues, ekonomi sulit, salah satu faktor yang buat aku sembuh itu, adalah keberadaan ART.

Walau duit tipis, gimana cara pikiran tetap waras. Bisa urus anak dua yang juga ASI eksklusif dominan direct breastfeeding. Walau pada akhirnya, cincin nikah suka disekolahin sebulan sekali ke pegadaian, demi menggaji ART. Tiap gajian, bayar cicilan cincin. Kadang aku iri sama ART ku itu, dia punya gaji, aku enggak. Sampai akhirnya cincin itu gak ketebus sama sekali, ahaha.  Alhamdulillah sekarang sudah ada gantinya.

Lihat tetangga yang jualan online laris, wah dia jago banget jualannya. Kapan ya aku kayak dia. Lihat adik bisa kerja di perusahaan bagus, ih aku kok gak dikasih kerja ya? Bisa beli barang pakai duit sendiri, insecure lagi.

Lihat teman jadi PNS, dalam hati bertanya-tanya, aku sudah tiga kali nyoba tes CPNS kok gak lulus lulus ya?

Lihat tetangga kerja di perusahaan bonafid, urus rumah tanpa ART, dan anaknya pintar-pintar, iri lagi.

Lihat mantan pacar suami masih langsing, ih aku kok gak kayak dia ya? Ntar suamiku balik ke sana, bagaimana? #pernahNgerasaBegini?

Lihat anak tetangga jago renang, anakku kok ga bisa?

Lihat teman jago masak, di pikiran suka ngenes, mereka kok bisa? Aku kok enggak?

Lihat teman yang jago urus rumah, cantik, rajin perawatan, keingatan saldo uang belanja.  Kok uangku sedikit ya?

Teman-teman. Pasti, selalu ada celah yang membuat kita rendah diri. Melihat orang dengan berbagai pencapaiannya, dan kita biasa-biasa saja, itu menyakitkan.

Mau sampai kapan kita merasa begini? Mau sampai kapan menilai rendah diri sendiri? Terlebih di zaman pandemi, rendah diri, sering sedih, sering baper, itu bisa meningkatkan resiko tertular penyakit. Beneran!

Siapa lagi yang menghargai diri kita, kalau bukan kita sendiri? Orang orang sekitar bisa saja merendahkan kita. Anggap angin lalu. Selama bukan hal yang melanggar agama, jangan pikirkan omongan orang. Tapi kalau kita sendiri yang rendah diri, itu salah.

Boleh saja iri dengan orang lain, boleh saja berusaha supaya bisa seperti orang-orang yang berhasil itu, tapi ketika titik akhirnya beda, ketika level pencapaian kita lebih rendah, jangan marah. Gembira sewajarnya. Sedih sewajarnya.

Mungkin kita bukan siapa-siapa. Cuma wanita biasa dirumah, urus anak, urus suami. Tidak punya kelebihan seperti orang lain. It’s Ok. Wajar. Tapi mari kita ingat banyak orang yang hari ini tidak seberuntung kita.

Ada perempuan-perempuan yang semasa pandemi, menjadi tulang punggung. Ada yang ditinggal nikah lagi. Ada juga single mom yang suaminya sudah meninggal. 

Ada banyak ibu yang tinggal jauh dari bayinya, merantau ke negeri orang. Bahkan ada juga yang hidupnya penuh cobaan.

Percayalah. Hidup kita yang kita rasa hari ini tak ada apa-apanya, jenuh, itu-itu saja,  banyak orang yang ingin ada di posisi kita, andai bisa. Sayang mereka tak bisa.

 

 

Tujuh Tips Liburan Anti Bucin

in , by Rizka Amita Ridwan, September 09, 2021


Design by Canva

 

Sebentar lagi libur panjang. Setiap libur panjang, ada di antara kita yang bersiap piknik atau jalan dengan orang tersayang. Semua sah sah saja jika kesayangan adalah pasangan halal. Lalu bagaimana kalau orang tersayang itu, belum sah? Misalnya, pacar atau teman yang ajak liburan berdua, menginap pula? Nah, ini yang harus diwaspadai.

Kalau aku pribadi sebenarnya tak suka dengan pacaran, TTM, atau apalah namanya. Tapi ada personal di sekitarku yang berpacaran. 

Kemarin sempat kubaca salah satu berita menyedihkan. Bahwa setiap akhir tahun, trend penjualan kond*m malah meningkat. Yang bikin kepala pusing adalah, berdasarkan pengakuan seller-nya, sebagian pembeli justru anak muda, entah nikah atau tidak. Iklan h*t*l pun ramai. Terpampang diskon habis habisan. Kita pikir karena Corona maka orang akan di rumah saja. Nyatanya enggak. Ada yang cuek. Ada juga yang tergoda, lalu memesan kamar untuk liburan. Apakah yang check in di hotel itu semua pasangan sah? Apakah yang mengajak ABG ke gubuk gubuk pinggir pantai itu waras?

Disinilah harga diri kita dipertaruhkan. Si Mbek esalah...si Mbeb chat ngajak pergi,. [Kamu nanti Aku nikahin, ayo ikut sini]

Kamu jawab, "Enggaklah, Kita kan baru pacaran. Ngapain nginap?"

Dari Mbeb muncul pesan lagi, [Kamu cinta Aku, kan? Mana buktinya?]

Sekuat apapun iman, kalau kesempatan di depan mata, pas pula setan lewat (atau setan belum lewat), peluang zina sangat besar. Kalau sudah terjadi, siapa yang rugi? Perempuanlah yang rugi. Laki mah jejaknya tidak ada! Karena itu, menjelang pergantian tahun  ini, ada beberapa hal yang bisa kita lakukan daripada jalan jalan tak jelas yang ujungnya zina. Apa saja alternatif kegiatan itu ?

1. Tetap di rumah saja. 
Ingat ini masih Corona. Bepergian seperlunya. Banyak yang bisa dilakukan dirumah.    

2. Mau keluar karena bosan di kosan/di rumah?
Masih bisa tapi, jalan jalan hanya ke tempat terbuka, bersama keluarga atau teman yang dipercaya, itupun waktu hari terang, bukan menjelang malam. Semakin malam semakin membuka peluang terjadinya zina. Zina itu tak selalu di hotel. Di kebon kebon pun ada. Catatan tentang di kebon kebon ini, mohon lebih waspada. Pria yang mengajakmu ke kebon kebon, ke semak semak, ke tempat sunyi, dipastikan  orang jahat. Waktu keluar rumah usahakan berdoa semoga dilindungi Allah, sehat selamat sampai kembali.

3. Berdoa dan Belajar
Belajar? Gak salah? Ya enggaklah. Misalnya, liburan ini belajar bahasa Arab, belajar pakai hijab syari, belajar motor, belajar mobil, belajar masak, belajar bahasa Inggris, banyak.

4. Pacarku orang baik baik, tidak mungkin kami khilaf.
Tak ada yang menjamin kita bebas khilaf. Sekelas Nabi Yusuf saja bisa digoda, apalagi kita yang imannya tipis ini? Jadi, tetap jaga jarak ya. Sebagai manusia biasa, namanya pacar, bisa meminta ini itu. Padahal dilihat dari sudut apapun, dia belum berhak atas diri kita. Kebayang kan, pas nginap berdua, terus dia pegang ini itu. Dia minta berhubungan intim, lalu kita bilang tidak mau. Kita jauh dari rumah, cuma berdua pula. Pilihan ada dua, menerima atau memukul kepalanya pakai batu besar. Walau dia ancam tinggalin kita di tengah jalan, biarin! 

5. Ada tikus mati di lumbung. Yang dibakar, tikusnya, atau lumbungnya? Perumpamaan ini bisa dipakai, jika memang tak mau ada perzinaan, maka jauhi sumbernya. Jangan cari peluang. Kalau sudah terjadi, resiko tanggung sendiri. 

6. Teruntuk pria juga
Untuk pria tampan yang hari ini masih sendiri, mohon lebih selektif. Jika ada wanita yang mengajak pergi ke tempat sunyi, menginap, berdua saja. Lebih baik jauhi  Kalau dia maksa, putuskan. Tidak ada wanita baik baik mau berduaan, maksa pula. 
Selain tipe orang yang maksa berduaan, ada lagi tipe calon mesti dijauhi, yaitu yang sebelum menikah, sudah minta uang banyak. Misalnya sebelum menikah, dia sudah minta ke kita, untuk renovasi rumahnya. Atau minta dibelanjain baju dan tas bermerek. Lalu minta perbaiki pagar rumah neneknya.  Dia bilang, mumpung akhir tahun jadi kasih dia duit sebagai tanda cinta. Jika statusnya masih belum nikah dan kita juga bukan berlebih, ya jangan kasih. Cinta tak seberat itu. Bagi yang belum menikah, cinta boleh, bucin jangan. Nanti sudah dibeliin macam macam, eh si dia malah nikah dengan orang, kumenangissss.

7. Untuk sesama orangtua, kakak, abang, yuk kita lebih kenali teman teman anak/adik kita. Waspada jika anak/adik kita di ajak temannya, jangan abai. Biarlah dibilangin kolot karena tak mau hura hura menghabiskan waktu di luar rumah. Biarin dibilang kudet, gak gaul. Biarin dibilang sok alim. Biar dibilang sok baik. Daripada sok jahat.

 
Bekasi, 17 Des 2020. Menulis setelah melihat berita, penjualan k*nd*m meningkat di akhir tahun. Semoga tahun ini dan selanjutnya menurun, Aamiin.



 
© Tempat Lihat Suka Suka · Designed by Sahabat Hosting