Ketika si Kakak Bertanya Tentang Sifat Tomboi

in , by Rizka Amita Ridwan, November 22, 2021

 


Bismillah.

Hari Minggu kemarin, aku libur masak. Jadi siangnya kami keluar ke  sekitar rumah untuk  makan siang. Ada aku, suamiku, dan anak-anak. Saat mobil kami melaju, si sulung (selanjutnya aku sebut Kakak), mengajukan pertanyaan. Anak kami ada dua. Si Kakak, perempuan umur duabelas tahun. Dan Adeknya laki-laki umur delapan tahun.

“Bunda. Aku ini kan gak seperti Bunda? Aku suka pakai celana panjang, aku suka olahraga taekwando, aku juga suka lari-lari. Aku tomboi kan Bun?” tanya si Kakak yang duduk di sampingku. Di depan, suamiku menyetir mobil. Dan disebelah suamiku, duduk anak kedua kami.

“Enggak.” Jawabku.

“Lho kok Bunda bilang begitu? Lihat aja sekarang. Bunda suka pake rok, sedangkan aku suka pakai celana panjang.” Dia heran dengan jawabanku.

“Suka pakai celana panjang, gakpapa yang penting atasannya selutut. Suka olahraga bela diri, itu bagus. Suka lari-lari juga gakpapa, itu sehat. Kita ini perempuan jadi ya tetap berpakaian dan bertindak sebagai perempuan. Ga perlu jadi tomboi." jawabku. Ya Allah, aku sendiri terkejut dengan jawabanku, kok bisa aku sebijak itu, xixixi. Mestilah ini karena aku libur masak, ahaha!

Pembicaraan yang kemarin itu masih ad di pikiranku. Kenapa? Usia anakku yang ABG ini memang usia mencari jati diri. Usia dimana tampak luar juga menambah percaya diri untuk bergaul. Usia dimana mereka ingin punya ciri khas berbeda dari orang lain. Menjadi tomboi adalah salah satu pilihan. Karena dengan menjadi tomboi, tak perlu berias, tak perlu rapi, seperti anggapan kecantikan umum. Dan yang paling penting, menjadi tomboi itu gak ribet dengan pernak pernik segambreng kaum hawa.

Lalu apa defenisi tomboi? 

Menurut KBBI, tomboi adalah :  Sifat atau tipe aktif, penuh petualangan dan sebagainya anak laki-laki; sifat kelaki-lakian (tentang anak perempuan);

Jadi, ini tentang anak perempuan yang bertingkah seperti laki-laki. Bisa dari cara berpakaian, cara bicara, atau hobi.

Di zaman sekarang, kata tomboi bisa saja berarti luas. Tak cuma perempuan yang bertingkah mirip lelaki, tapi bisa berkembang menjadi, perempuan yang suka perempuan. Naudzubillah. Apalagi ada semacam anggapan bahwa yang cantik itu adalah yang berhias habis-habisan, yang langsing. Membuat remaja yang biasa-biasa saja, memilih jadi tomboi.

In My Humble Opinion, anak perempuan yang bertindak seperti laki laki, entah itu salah satu atau ketiganya dari defenisi KBBI di atas, tidak serta merta membuat dia jadi laki-laki. Kita selaku orangtua sebaiknya mengarahkan anak untuk tetap berlaku sebagai perempuan, walau dia punya hobi misalnya, bela diri, atau panjat gunung. Anak perempuan dengan keberanian lebih, kadang menganggap dirinya tomboi juga.

Mari kita jelaskan ke anak, hobinya, sifatnya itu, juga dipunya Sahabiyah.

Ada Khadijah binti Khuwailid, wanita terkasih Nabi Muhammad SAW yang berprofesi sebagai pedagang. Ada Aisyah binti Abu Bakar. Ada Fatimah sang Putri Nabi SAW. Wanita-wanita yang ada di sekitar Baginda Rasul SAW, adalah wanita pemberani. Berani itu juga sifat wanita, bukan cuma sifat lelaki.

Ada Nusaibah binti Ka’ab, yang melindungi Nabi di perang Uhud. Ada Khaulah binti Azur, muslimah yang sejak kecil gemar bermain tombak dan pedang.

Di Tanah Air, ada nama Laksana Malahayati, panglima perang yang mahir perang dan jago negosiasi. Ada nama Cut Nyak Dien, wanita yang turun langsung dalam perang. Ada juga nama Syekhah Hajjah Rangkayo Rahmah El Yunusiyah, tokoh  pendidikan yang  mempertahankan Sekolah Diniyah Putri di Padang Panjang.

Jadi, ada banyak contoh nyata yang bisa dilihat anak-anak kita, bahwa perempuan dengan sifat berani, logis, punya kemampuan bela diri, lincah kesana kemari, bahkan memimpin pasukan, adalah tetap perempuan, tanpa harus berpikir bahwa dia punya sifat seperti laki laki.

Dia tetap perempuan, tetap bisa berkembang sesuai cita-cita positifnya sambil menjaga diri, tanpa harus jadi laki-laki. Karena menjadi pemberani yang bisa menjaga diri, adalah tabiat wanita yang sudah Allah ciptakan. Berani itu sifat semua orang baik perempuan atau laki-laki. 

Ini opini dari ibu dua anak yang masih perlu banyak belajar. Bagiku, perlu untuk mengenalkan anak perempuan, wanita-wanita solehah yang bisa menjadi acuannya.  Dan itu adalah tokoh nyata, bukan khayalan. Menjadi setuju atau tidak kembali ke pilihan pribadi masing-masing.

 

 

 

 















Hari Minggu kemarin, tanggal 31 Oktober 2021, kami sekeluarga menonton film Nussa di Bioskop XXI dekat rumah. Sebenarnya sudah lama ingin menonton tapi baru sempat sekarang.

Sedikit flashback awal aku tahu Nussa Rara ya, dari anak anak waktu mereka nonton serialnya di TV. Ceritanya bagus, khas anak-anak. Ada Nussa yang serius, juga Rara yang gemesin. The best partnya adalah, film sebagus dan seharu biru ini, buatan Indonesia!  Waktu lihat thrillernya, aku pikir ini biasa saja. Ternyata film ini,  luar biasa! Sekilas, serial Nussa diperuntukkan bagi anak-anak. Tapi Nussa mampu memikat semua umur.

Ada satu moment dimana waktu aku nonton serial Nussa, yang sejak kecil, sudah pakai kaki palsu.

Nussa ingin sekali ikut kursus sepak bola. Berulangkali Nussa minta izin ke bundanya yang dia panggil Umma, tetap tidak bisa. Sampai akhirnya izin itu turun, dilatarbelakangi satu kejadian. Umma jatuh di kamar, dan Nussa  berusaha menopang tubuh Umma, dengan kakinya. Masyaa Allah, Nussa bisa!

Sebagai sesama Ibu, kupikir wajar jika  Umma resah. Apa bisa Nussa dengan kaki palsunya itu,  mengikuti aktivitas yang justru mengandalkan kekuatan kaki?Tapi Umma  menepis keraguannya, dengan berkata satu kalimat mengharukan pada Nussa. “Umma selalu percaya kalau Nussa bisa,” kata Umma sambil menyentuh bahu Nussa.

Huwaa! Refleks dong aku berkaca-kaca. Ke anak sendiri, jarang sekali aku bilang,. “Bunda percaya Kamu bisa.” Eh ini, ada Ummanya Nussa, bilang bisa. Padahal Nussa kakinya tak sempurna.

Jujur ya, kita tahu, apa yang akan dilaluinya jika kita bilang, “Anakku, kamu bisa.” Tapi kita gak kuat melihat dia berusaha mencapai impiannya, entah itu dengan merangkak atau berlari. Padahal kita  sendiri pernah mencita-citakan sesuatu dan berjuang melewatinya.  Muncul konsekuensi tindakan yang harus dilakukan jika kita berkata pada anak, “Ayah Bunda percaya Kamu selalu bisa.”

Akan ada masa sulit setelah itu. Akan ada kecewa dan air mata, persis ketika Nussa kalah melawan Joni untuk Science Fair tingkat sekolah. Di saat bersamaan Nussa juga kecewa karena Abbanya tertunda pulang.

Nah, di film juga ada moment dimana Nussa sedang berusaha naik tangga, dengan baut kaki palsunya yang tak lagi utuh. Lepasnya baut kaki palsu itu tak biasa. Karena baut itu, diberikan Nussa, untuk Joni. Bahkan dinamo yang dibawa Abba dari luar negeri, juga diberikan ke Joni.

Seharusnya Nussa dan Joni bersaing dalam Science Fair. Tapi tindakan Nussa ini malah membuat Nussa tidak bisa ikut lomba.

Bisa ditebak kalau Jonilah juaranya. Saat penyerahan hadiah, Joni yang kini rendah hati, memanggil Nussa, untuk bersama memegang piala.  Terseok-seok Nussa menaiki tangga sampai Abba, menawarkan bantuan untuk memegang Nussa berjalan. Disinilah moment haru itu terjadi. Nussa menolak bantuan ayahnya. Dan Nussa dengan PD berkata, “Jangan Abba. Nussa bisa.”

Masyaa Allah. Adegan ini sukses membuatku terharu. Karena ingat anak sendiri. Kadang aku tanya ke anak, “Kamu bisa?” Padahal ya, lebih baik jika berkata, “Bunda percaya kamu selalu bisa.” Alih alih bertanya tapi ragu.

Dua kalimat yang beda, hasilnya bisa beda. Ketika orangtua percaya pada anak, maka kepercayaan ini akan membuat anak jadi bisa, sanggup berusaha dan berpeluh demi cita-cita positifnya. 

Ada satu lagi yang menjadi ibroh di film ini, perihal kedekatan orangtua ke anak. Ada sosok Joni, si anak pintar yang sepanjang hari diasuh pembantu. Ayah Ibunya di dekat dia. Tapi Orangtuanya selalu sibuk. Berdekatan saja masih sibuk menelpon, pegang HP terus. 

Sementara ayah Nussa yang kerja di luar negeri, sering video call dan memberi semangat pada Nussa. Walau tak selalu mulus, LDR nya ayah Nussa, tak mengurangi perannya sebagai ayah. Abba hadir di saat Nussa butuh sosok Ayah.

Fenomena  seperti keluarga Joni, atau keluarga Nussa, ada di sekitar kita. Film ini mengingatkanku bahwa anak anak, selain butuh kehadiran orangtua, mereka juga butuh penyemangat, perhatian, dan sentuhan. Senang rasanya waktu Rara ke dapur dan surprised dengan kehadiran ayahnya. Alhamdulillah akhirnya, orangtua Joni lebih perhatian ke anak, dan Ayah Nussa pulang ke Indonesia.

Siapa lagi yang paling anak-anak butuhkan sebagai penyemangat hidupnya, pemberi perhatian dan sentuhan tulus, kalau bukan dari kita, ayah bunda mereka? Jangan sampai anak anak mencari perhatian ke orang lain, yang bisa saja salah. Ya kan? 

Kami memang bukan orangtua sempurna, tapi kehadiran film Nussa telah mengingatkan kami untuk berusaha jadi sempurna, setidaknya di mata anak-anak kami. 

Terimakasih untuk semua pihak yang telah menghadirkan film Nussa Rara ke layar bioskop. Terimakasih untuk menyadarkan kami akan pentingnya waktu bersama keluarga.  Semoga Nussa tetap ada menemani hari-hari kita semua. Semoga selalu menginspirasi.

Bekasi,. 5 November 2021

Rizka Amita Ridwan

Ibu dua anak.

 

 

 

Kucing Tetangga

in , by Rizka Amita Ridwan, November 02, 2021


Sejak kecil, aku bukan pecinta kucing. Pun sampai menikah dan punya anak, aku masih jaga jarak dengan kucing. Bukan apa-apa, aku sadar diri tidak telaten. Sampai kemudian, si sulung kami meminta kepada ayahnya, untuk diberikan anabul. Itupun dengan catatan, dia yang urus semuanya. Emak lepas tangan.

Anabul kami sepasang, jantan dan betina. Si Sulung begitu sayang dengannya. Apalagi memang itu kucing, lagi lucu-lucunya.

Lalu kuteringat, bahwa pernah lima bulan lalu, ada kucing ras dewasa yang suka mampir ke rumah kami. Kucingnya bersih, lucu. Dia pernah masuk rumah kami dan tak mau keluar.

Satu yang kuingat adalah, kucing ini sering tidur di teras rumahku. Dan menyebabkan helm yang kutaruh di teras, dan kursiku, bau pesing kucing. Apa yang kulakukan kemudian? Aku tanya di grup ibu ibu, siapa yang punya kucing itu. Alhamdulillah besoknya kucing itu tidak berkeliaran lagi. Kemungkinan sudah diamankan pemiliknya.

Dengan keterbatasan pengalamanku di dunia anabul, ingin kusampaikan. Jika ada kucing tetangga yang mungkin mengganggu kenyamanan kita, ada baiknya memberitahu si pemilik kucing atau anjing (atau hewan peliharaan lain), perihal ini.

Misal, itu kucing/anjing, kencing sembarangan di teras kita, ya kasitahu ke pemiliknya. Tapi jangan membuang kucing itu jauh-jauh, atau malah membunuh kucing itu.  

Namanya hewan, ya kurang akalnya. Jangan kita ambil tindakan sesuka hati kita. Membuang kucing jauh, membunuh hewan peliharaan orang, bukan hal bijak. Kita tak tahu, bisa jadi hewan peliharaan itu, sangat dekat dengan pemiliknya. Teman tidur, teman main, penghibur hati anak pemiliknya, kita tak tahu.

Cukup sampaikan ke pemiliknya, bahwa hewan peliharaan mereka, mengganggu kita. Kalau pemiliknya tak terima dan sudah sangat mengganggu, bisa lapor ke RT setempat. Tapi jangan membuang kucing/anjing itu jauh, membunuhnya, atau malah meracuni. 

Yang sama ngenesnya adalah, jika kita menemukan anak kucing umur seminggu, di jalanan. Kan aneh anak kucing sendirian di jalan. Induknya mana? Kalau memang kerepotan, dan berencana membuang, setidaknya bersama induknya. Jangan induknya tetap dirumah karena mau dipakai usir tikus. Tapi anak-anaknya dibuang. Kita bisa pindahkan mereka ke tempat yang aman. 

Bisa tanya tetangga jika ada yang mau merawat.  Tempat penampungan terdekat, bisa juga jadi solusi. Bayangkan jika kita ada di posisi anak kucing. Kecil, sendiri, tak berdaya, tanpa induknya.

Tapi semua sudah dicoba dan tetap mau buang? Makanya dari awal jangan punya anabul kalau tak sanggup. Giliran dia punya anak,  malah dibuang! Oh ya, masih ada opsi steril juga.

Tulisan ini bukan bermaksud ‘mengajak’ membuang kucing. Tidaaaak! Cuma mau mengingatkan, ada lho, cara yang lebih manusiawi jika kita tak suka kucing/hewan lainnya.

Jangan tidak suka kucing, keberadaannya mengganggu kita, malah membawa mereka ke tengah jalan. Kenapa sampai anak kucing ditaruh ke tengah jalan? Supaya kelindas gitu?

Pernah malah, orang memijak leher kucing sampai mati, karena mengganggu di gedung miliknya. Dan dia merasa....biasa aja! Aku yang nonton cuma bisa istighfar. Kok segitunya? Kan kucing itu bisa diusir?

Bagaimanapun, mereka mahluk Tuhan juga. Jika hewan-hewan itu menderita akibat ulah kita, maka kita berdosa. Ah dosa kan urusan nanti? 

Teman, jika memang tak mau berubah karena tak percaya dosa, tak percaya surga neraka, itu urusanmu. Tapi setidaknya, mari empati. Jangan berbuat sesuka hati.

© Tempat Lihat Suka Suka · Designed by Sahabat Hosting