Awal Kenal Kajian Sunnah Part 1

in , by Rizka Amita Ridwan, September 03, 2021


































Saat itu tahun duaribulimabelas. Didorong rasa ingin tahu, aku beranikan diri untuk mengaji. Tepatnya mencari pengajian. Penampilanku sehari hari masih celana panjang, baju kaos sepaha atau selutut . Jilbab Alhamdulillah selalu menutup dada. Walau tak panjang panjang amat. Bertahun sebelumnya, aku juga sering berdoa, Ya Allah, pertemukan aku dengan teman teman yang baik, teman yang membimbingku, dan mau menegurku jika salah. Melihat perkembangan zaman dan umur yang semakin tua, juga sudah punya anak, rasanya aku butuh pengajian. Dulu waktu kuliah, aku sempat ikut kajian. Berhenti setelah bekerja. Dan kini mencari lagi. 

 

Tahun 2015, dorongan mengaji semakin kuat. Bertepatan di depan rumahku ada mesjid yang sesekali ada pengajian ibu ibu bercadar. Aku tidak tahu nama pengajiannya apa. Tapi setiap melihat mereka, Masyaa Allah, aku iri sekali. Dalam hatiku, kapan aku bisa? Begitu ingin seperti mereka. Tapi selalu ada bisikan dalam hati yang berkata. Hei, mundur saja, nanti kamu malu. Nanti kamu dicuekin. Nanti kamu tak diterima. Bajumu saja warna warni, celana jeans, tak pantas ikut kajian. Kutahu itu bisikan setan, yang melemahkan. Jika itu kuturuti, sampai kapanpun aku tak mengaji. 

 

Bisikan sejenis juga pernah dialami Abu Sufyan . Dalam perang Badar, Abu Sufyan melihat banyak sekali orang berbaju putih menaiki kuda hitam belang putih, menyerbu antara langit dan bumi, tidak menyerupai sesuatu apapun, dan tidak terhalang oleh apapun. Abu Sufyan hampir memeluk Islam karena kejadian ini. Tapi ada bisikan di hatinya yang menyatakan, jangan masuk Islam. Alhamdulillah di akhir hayatnya, ia yang memusuhi keras pada Rasulullah SAW, menjadi muslim dan sangat mencintai Nabi. Masyaa Allah.  

Ada juga kisah penyair Quraisy ( aku lupa siapa namanya), yang menunda masuk Islam, karena pengaruh orang orang. Kata orang, di Islam tak boleh minum khamr, tak boleh mabuk.. Akhirnya si penyair yang suka minum khamr, tak pernah masuk Islam sampai wafatnya. Jadi teman teman, bisikan yang mengatakan kita penuh dosa dan tak pantas, belum saatnya hijrah, jangan dituruti. Begitu halus cara setan menggoda, membuat kita menunda. Naudzubillah Min Dzalik.

 

Kembali ke ceritaku ya. Awalnya kuberanikan diri bertanya pada seorang ibu ibu bercadar. ”Assalamu’alaikum Bu.” Saat itu aku baru pulang joging dengan kostum celana training dan atasan baju kaos. Ibu ibu itu duduk di teras masjid dengan anaknya. 

“Wa’alaikumsalam. Ada apa Mbak.”

“Bu. Ini acara apa? Pengajian umum ya?” 

Ibu itu melihatku dari atas ke bawah. Tapi aku tak peduli. Sudah kepalang maju, tak boleh mundur.

“Oh, bukan Mbak. Ini acara orangtua murid sekolah tahfidz kami.”

Aku sudah paham dengan ucapan ibu itu. Selanjutnya kutanyakan hal lain, sambil mendekat ke arahnya. Kupelankan volume suaraku, “Bu. Saya mau mengaji. Ibu tahu dimana tempat Saya bisa mengaji? Kalau bisa yang pemula Bu. Soalnya aku ya…begini,” tak tahu kok bisa kalimatku selancar ini. Padahal tadi aku ketakutan.

“Alhamdulillah. Mbak mau mengaji? Mata si Ibu bercadar berbinar. Selanjutnya dia memanggil temannya. Sekitar tiga orang mendekatiku. Singkat cerita,  aku dapat info tempat mengaji dekat rumah. Sebenarnya tak dekat juga, sekitar sepuluh menit naik motor. Setelah itu aku pulang kerumah.

Sampai rumah langsung kuceritakan ke suami, kalau aku akan ikut kajian. Alhamdulillah suamiku mendukung. “Ya udah Dek, nanti kalau Adek pergi kajian, anak anak ditinggal dirumah saja. Supaya Adek fokus. 

Tak langsung juga aku pergi kajian. Kadang anak sakit, kadang ada acara kantor suamiku. Jadi aku baru bisa kajian dua bulan setelah pertemuan dengan ibu ibu di mesjid tadi.

Sampailah hari-H aku berangkat kajian. Saat itu aku cuma punya satu rok jeans model A-line. Tak sempit, tak longgar. Pakai atasan kemeja dan jilbab instan menutup dada. 

Masyaa Allah. Rasa hati mengharu biru, tak terlukis kata kata. Akhirnya aku datang ke kajian yang kuimpikan sejak lama. Bukannya pengajian pemula, pengajian yang kudatangi ternyata kajian gabungan. Ada lima puluh akhwat yang lebih setengahnya bercadar. Bajunya sama. Hitam, gelap, longgar. Aku satu satunya yang pakai baju warna cerah, jeans pula. Karena terlalu senang, aku baru sadar kalau tadi aku salah parkir motor. Aku parkir motor di tempat ikhwan, saudara saudara. Untunglah saat itu kajian sudah dimulai jadi tak ada yang menegurku, hahaha! Karena itu tempat terdekat ke gerbang, kupikir bebas parkir disitu. Ternyata parkirpun dipisah. Awal datang aku disalami. Mereka juga membuka cadarnya jadi aku bisa tahu wajahnya. Mereka mengajakku sesekali bicara, disela sela kajian yang dibatasi tirai. 

Jujur perdana kajian itu, aku tidak fokus dengan materi. Yang kuingat, malaikat membentangkan sayapnya, dan mendoakan serta memintakan ampun,  bagi orang orang yang duduk di majelis taklim. Kubayangkan ada malaikat juga disana. Mereka bisa melihatku tapi aku tak bisa melihatnya. Semoga malaikat mendoakanku yang baru hijrah dan berusaha melawan rasa takut ini, Aamiin. 

Kajian selesai dalam dua jam. Setelah salam dan cipika cipiki, aku bergegas pulang. Kukatakan ke teman karena aku punya balita dua dirumah. Padahal bukan itu alasan aku segera pulang. Aku ingin menangis sepuasnya. Air mata kebahagiaan karena akhirnya aku ikut kajian dengan mengalahkan rasa takutku. Bergegas kuambil motor dari parkiran , lalu berhenti sebentar di gerbang mesjid, untuk mengeluarkan air mata yang sudah tertahan dari tadi. Ya Allah, mudahkanlah aku mendekati-Mu, aku ingin jadi ibu yang baik, yang bisa jadi contoh bagi anak anakku. Merangkakpun akan kulakukan, dengan semua kurangku. 

Perihal air mata ini sedikit aneh. Hanya bisa muncul disatu saat tertentu. Tahun duaribulimabelas aku mudah terharu terutama jika sendiri dan mendengar ceramah, entah itu di yutub ataupun langsung. Mungkin ini namanya hidayah.

Minggu depannya, aku ikut kajian lagi. Beda dengan minggu lalu, kali ini anak anak kubawa. Kata suami anak disuruh dirumah saja. Aku malah tak fokus anak kutinggal. Akhwat lain kulihat bawa anak, ya aku ingin juga.

Karena bawa motor sambil bawa anak, aku pakai kostum celana jeans dan tunik selutut. Aku juga sudah tahu dimana tempat parkir motor, hehehe. Dan aku masih tak pede dengan kostumku yang beda sendiri. Tapi sudahlah pikirku, yang penting bajuku sopan. Alhamdulillah penerimaan mereka juga baik. Saat datang kedua dan seterusnya, tidak semua menegurku saat datang. Tak masalah. Aku datang karena aku butuh kajian. Orang tidak harus menyambutku. Jika ada bisikan aneh di hati, kutepis. Aku ingin jadi baik, titik.

Sempat dua bulan aku rutin kajian, sampai ada kabar, kalau suamiku akan mutasi ke Makassar. Aku sempat galau. Bagaimana dengan kajianku? Apa disana akan lanjut atau malah putus? Apa disana akan kudapat teman teman sebaik disini? Duh Allah, jikapun kami harus pindah, kami ridho. Tapi mohon dekatkan kami ke teman teman yang sholeh.

Alhamdulillah, kota Makassar sangat agamis, dan jadi kota hijrahku selanjutnya. Mau tahu kisah kami selanjutnya di Makassar? Insyaa Allah akan kutulis lagi di lain waktu ya.

Bekasi, 1 Agustus 2020
Rizka Amita
Penulis buku ‘Yes, You can. Diary ASI Ibu Baru dan Perjuangan Menghadapi Babyblues.
SHARE 0 comments

Add your comment

Terimakasih telah singgah di rumahami. Mohon tidak meninggalkan link di kolom komentar. Admin menerima endorse dan kerjasama.

© Tempat Lihat Suka Suka · Designed by Sahabat Hosting